Bg

Berita - IAIN Surakarta

Thailand Negara Pro Halal

25 November 2015

Tulisan ini kalau menyebut negara “pro-syariah” maka akan menjadi ramai perbincangannya. Masak ada negara yang sekuler dan mayoritas penganut Budha memakai peristilahan agama lain dalam hal ini adalah Islam? Akan tetapi ketika diambil judul “pro halal”, maka diyakini tidak akan menjadi masalah. Memang peristilahan menjadi penting dalam membawa kesan pada penerima pesan. Apalagi di era sekarang ini ketika media tidak dibatasi pada media cetak maupun elektronik tetapi meluas pada media sosial. Media yang disebut terakhir merupakan media yang paling efektif dalam mepnegaruhi persepsi seseorang terhadap sesuatu yang diberitakan. Apalagi kalau di-blow up hampir semua media sosial.

Berbicara tentang “pro halal”, “pro syariah” ataupun yang lainnya tidak bisa dilepaskan pada tiga hal. Yaitu: yang pertama pada persoalan semantik, yang kedua pada permasalahan epistemologi, dan yang terakhir pada persoalan metodologi. Tiga hal tersebut (semantik, epistemologi, dan metodologi) bisa menjadi rujukan untuk menelaah semua yang berkaitan dengan persoalan yang ada di sekitar manusia.

Peristilahan dalam Islam memang banyak yang dikesankan secara “rasa” memiliki tingkatan yang berbeda. Kesan “:sangar” seperti label Islam, ini akan berbeda dengan istilah berlabel Syari’ah yang terjadi di lingkup perekonomian. Istilah dengan menggunakan syari’ah akan terada tingkatan “agak sangar” ketika muncul di peraturan daerah (perda) syari’ah, akan lebih lembut lagi kalau memakai istilah halal.   Kalau kesan itu digambarkan seperti berikut :

SegitigaGambar di atas menunjukkan bahwa kesan yang paling dianggap sangat menakutkan adalah semua yang diberi label Islam, seperti Jama’ah Islamiyah (JI), Negara Islam, Darul Islam, Islamic State, atau yang lainnya dianggap merepresentasikan Islam radikal. Agak lunak ketika diberi label Syari’ah seperti yang terjadi di sektor ekenomi. Penggunaan istilah Bank Syari’ah, asuransi syari’ah, atau yang lainnya. Akan berbeda ketika dilekatkan dengan dalam bidang politik juga dikesankan “sangar”.

Pemakaian istilah ini jadi penting, seperti yang terjadi di negara-negara yang mayoritas non muslim, negera-negara ini memakai idiom islam dalam tingkatan “rasa” yang dianggap lunak. Hal ini terjadi di Negara Thailand.

Thailand yang dikenal sebagai Negara Gajah Putih memang sangat lekat dengan istilah Islam. Walaupun negara ini merupakan negara berpenduduk mayoritas Budha, akan tetapi produk jasa dan barangnya “pro halal”. Istilah Islam yang akrab di kalangan warga negara Thailand yaitu istilah yang lembut dari syari’ah Islam yaitu: “Halal”. Istilah “Syari’ah” memang kelihatan “sangar” dibandingkan istilah “Halal”. Halal lebih lembut di tingkat rasa, walaupun istilah ini melekat dengan istilah induknya adalah Syari’ah.

Negara ini mengembangkan industri halal – dari wisata, makanan, sampai dengan kesehatan. Target yang disasar adalah negara berpenduduk muslim di seluruh dunia. Logika yang dibangun ketika industri jasa kesehatan itu bisa menarik konsumen Muslim, maka yang akan datang tidak hanya orang yang sakit saja. Yang mengantar akan lebih banyak lagi. Hal ini dikarenakan sifat masyarakat muslim yang masih kuat kekeluargaannya. Dampak tidak langsungnya hunian hotel/penginapan akan bertambah dengan dampak pengiringnya adalah penyediaan makanan yang halal.

Pengembangan Produk Pro Halal Melalui Perguruan Tinggi

Lembaga yang mengembangkan produk halal berada di bawah perguruan tinggi tertua yaitu Chulalongkorn University. Perguruan tinggi ini memiliki Halal Science Center (HSC). Lembaga ini berdiri tahun 2003 yang dipimpin Associate Professor Dr. Winai Dahlan. Beliau adalah cucu pendiri Muhammadiyah KH. Ahmad Dahlan. Lembaga ini membantu The Central Islamic Council of Thailand (Majelis Ulama Thailand) dalam membantu mengeluarkan sertifikat halal dan mengecek makanan yang telah terdapat logo halal secara random. HSC ini menjadi pelopor sistem dan proses produk halal di seluruh dunia atau disebut Halal Assurance and Liability Quality System atau lebih dikenal dengan sebutan HAL-Q. Lembaga ini bisa diakses www.halalscience.org.

Kerjasama ini menunjukkan hal yang positif dan perlu ditiru di Indonesia. Teladan yang perlu ditiru LPPOM MUI (Lembaga Pengkajian Pangan, Obat-obatan, dan Kosmetika Majelis Ulama Indonesia) adalah diperlukan kerjasama yang intensif dengan semua perguruan tinggi di Indonesia yang memiliki laboratorium untuk pengujian kehalalan semua produk barang dan jasa seperti tabel berikut:

Tabel 1. Bidang Barang dan Jasa Halal

No Halal Business Halal Services
1 Agriculture Business Services
2 Art & Entertainment Government Agencies
3 Food Additives Halal Certification
4 Halal Beauty & Personal Care Islamic Associations
5 Halal Beverages Islamic Education
6 Halal Chemicals Islamic Publications
7 Halal Eating Other Services
8 Halal Food
9 Halal Food Ingredients
10 Halal Packaging, Tool & Machinery
11 Halal Shipping & Logistics
12 Health & Medical
13 Islamic Fashion
14 Islamic Investment, Banking & Takaful
15 Islamic Travels
16 Other Businesses

(Adopsi dari http://www.daganghalal.com )

Kalau Negara Thailand dengan penduduk mayoritas Budha dan minoritas Muslim memberikan dukungan dana penuh membangun Halal Science Centre (HSC) di Universitas Chulalongkorn. Semestinya Indonesia lebih dari itu. Semoga. Wallahu a’lam. (Muhammad Munadi)